kalselsatu.com, BANJARMASIN – Sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya khas Banjar, sejumlah siswa sekolah dasar di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan mendapat kesempatan untuk mempelajari cara membuat kain sasirangan dengan menggunakan pewarna alam.
Kegiatan ini tidak hanya mengajarkan keterampilan tradisional, tetapi juga bertujuan untuk mengurangi penggunaan pewarna sintetis yang dapat merusak lingkungan.
Pelatihan yang diadakan di Galeri Assalam, Jalan Mulawarman, Banjarmasin, memberikan para siswa kesempatan untuk mencoba langsung teknik tusuk jelujur dalam pembuatan kain sasirangan.
Dalam aktivitas ini, mereka dengan hati-hati menusukkan jarum dan menarik benang untuk menutupi pola yang telah digambar pada kain polos.
Selanjutnya, siswa-siswa ini juga belajar tentang proses pencelupan kain ke dalam pewarna alam yang berasal dari tumbuhan, bukan bahan kimia berbahaya.
“Kami ingin mengajarkan anak-anak sejak dini cara membuat kain sasirangan menggunakan pewarna alami. Selain melestarikan budaya lokal, ini juga mengurangi dampak buruk dari limbah pewarna sintetis yang sering mencemari lingkungan, terutama ekosistem air,” ujar Muhammad Redho, perajin sasirangan yang telah bergelut dalam industri ini sejak 1993.
Sejak 2009, Redho telah beralih menggunakan pewarna alam untuk proses pembuatan kain sasirangan. Dia mengungkapkan bahwa limbah dari pewarna sintetis dapat mencemari lingkungan, terutama air, yang berdampak pada ekosistem dan kesehatan masyarakat.
Walaupun proses pembuatan dengan pewarna alam memakan waktu lebih lama dan hasil warnanya tidak secerah pewarna sintetis, Redho merasa ini adalah langkah yang lebih bertanggung jawab.
“Pewaranya memang kurang mencolok dan lebih mudah luntur dibandingkan dengan pewarna sintetis, tetapi dampaknya jauh lebih baik untuk alam. Saya berharap minat masyarakat terhadap sasirangan dengan pewarna alami bisa meningkat,” lanjut Redho.
Selain itu, Redho juga berharap generasi muda dapat melanjutkan keterampilan ini, sehingga kain sasirangan, yang merupakan simbol budaya Banjar, tetap lestari dan bisa diwariskan ke generasi berikutnya.
Pelatihan ini tidak hanya memberikan keterampilan praktis kepada para siswa, tetapi juga mengenalkan mereka pada nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pembuatan kain sasirangan.
Dengan mengajarkan anak-anak untuk mencintai dan memahami budaya mereka, Redho berharap keterampilan ini tidak hanya berhenti di generasi sekarang, tetapi bisa terus dilanjutkan dan berkembang di masa depan.
“Keterampilan ini sangat berharga, dan saya berharap anak-anak bisa melestarikannya. Saya melakukannya secara sukarela, karena saya percaya bahwa generasi muda akan terus menjaga budaya ini jika mereka sudah memahaminya sejak dini,” ujar Redho dengan penuh semangat.
Kegiatan seperti ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap pelestarian budaya lokal sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Siswa-siswa yang terlibat dalam pelatihan ini pun diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang memperkenalkan dan mempopulerkan penggunaan pewarna alam di masa depan.
